Rabu, 10 September 2008

REALISME

Realisme merupakan perspektif dominan dalam politik internasional terutama pada abad 20, terutama sekali pada periode PD ke-1 sampai dengan pasca PD ke-2 dan Perang Dingin. Banyak literatur menyebutkan dasar-dasar pemikiran realisme politik, oleh pendapat mainstreem, diantaranya dapat dilacak pada pemikiran Thucydides dalam Peloponnesian War, Sun Tzu dalam The Art of War, Thomas Hobbes dalam Leviathan, dan Machiavelli dalam The Prince. Pada perkembangan lebih lanjut, muncul pemikir-pemikir seperti E.H. Carr, Hans Morgenthau, Schelling, dan Kenneth Waltz.

Secara umum, perspektif realis dapat dipilah dalam realisme klasik dan neorealisme. Realisme klasik sendiri dapat dipilah kembali menjadi realisme klasik dan realisme neoklasik. Tokoh-tokoh realisme klasik diantaranya Thucydides, Hobbes, dan Machiavelli. Tokoh realisme neoklasik yang terkenal adalah Morgenthau, sedangkan tokoh neorealisme direpresentasikan oleh Kenneth Waltz.

Dalam persepsi realisme - sebagai paradigma utama dalam hubungan internasional sejak pasca Perang Dunia II - pranata hukum dinilai tidak terlalu signifikan untuk menjelaskan mengapa negara secara sukarela bersedia tunduk kepada aturan main yang berlaku. Ketertundukan negara sebagai subjek hukum internasional merupakan pilihan sadar yang dilakukan suatu negara karena tuntutan kepentingan nasional. Realisme menghindari pengkaitan kebijakan negara sebagai suatu penilaian berdasarkan romantisme historis atau bahkan berdasarkan pertimbangan moralitas. Menurut para realist, dunia harus dilihat sebagaimana adanya. Kompetisi dan kerjasama menjadi opsi logis yang harus dipilih negara sebagai aktor atau subjek dalam hubungan antarnegara jika ingin survive. Paham realisme ini merupakan refleksi pola survival for the fittest model tradisi Hobbesian yang mengandaikan kontelasi masyarakat internasional sebagai suatu struktur hubungan yang bersifat anarkis. Dalam kondisi seperti ini, maka kata kunci adalah kekuatan agar negara dapat terus mempertahankan jati-dirinya mengingat politik internasional sebagai suatu perjuangan untuk memperoleh kekuasaan. Hukum internasional dianggap sebagai suatu hal yang tidak ada (non-exist) di mana kelemahannya bersumber kepada struktur embrionik masyarakat internasional sendiri yang sejatinya tidak mengenal kekuatan polisional yang berdiri di atas negara.

Adalah Hans J. Morgenthau yang meletakkan dasar pemahaman utuh perihal konsepsi realisme dengan karakteristik utama konsep kekuasaan (power) dalam hubungan antarnegara. Secara kasat mata, kekuasaan berwujud dalam bentuk paksaan (force), baik yang bersifat militeristik maupun yang non-militeristik, seperti blokade dan sanksi perdagangan. Namun kekuasaan juga dapat berbentuk hubungan psikologis melalui kemampuan mempengaruhi (influence) pihak lain untuk secara sadar bertindak sesuai dengan yang diharapkan. Fenomena amerikanisasi kebudayaan melalui Mc. Donald, Pizza Hut, Mtv, merupakan ilustrasi yang tepat untuk menggambarkan bekerjanya konsep kekuasaan sebagai suatu hubungan psikologis. Secara konkrit, cita-cita demokratisasi, pemberdayaan masyarakat sipil dan perlindungan HAM telah menjadi matra baru globalisasi politik internasional di negara-negara berkembang. Benyamin R. Barber (2002) memilih istilahMcWorldsebagai bentuk globalisasi politik internasional yang mempengaruhi beberapa negara Dunia Ketiga dan pada beberapa aspek menciptakan penolakan atau resistensi kuat dalam bentuk gerakan fundamentalisme.

Perspektif realis berusaha membaca politik internasioanl secara ‘lebih ilmiah’ dengan mencari hukum-hukum yang bekerja. Ada beberapa prinsip dasar dari perspektif realisme politik. Pertama, negara adalah aktor utama dalam politik internasional. Wajah politik nasional adalah hasil dari interaksi perilaku negara-negara. Aktor-aktor politik dunia seperti individu-individu, organisasi internasional, LSM, jaringan transnasional dan sebagainya dianggap kurang relevan dalam membentuk wajah politik internasional.

Kedua, perilaku negara dalam politik internasional menekankan pada politik kekuasaan (power politics), yaitu kontestasi dan rivalitas untuk mendapatkan, mempertahankan dan memperluas kekuasaan. Prinsip ini berangkat dari asumsi bahwa perilaku negara pada hakekatnya proyeksi perilaku manusia dalam keadaan alamiah. Menurut Robert Jackson dan Georg Sorensen (2005:88) perilaku manusia dalam perspektif realis dicirikan sebagai makhluk yang selalu cemas akan keselamatan dirinya dalam hubungan persaingannya dengan orang lain. Mereka ingin berada dalam posisi pengendalian terhadap orang lain. Mereka terus-menerus berjuang untuk mendapatkan ‘yang terkuat’ dalam hubungannya dengan yang lain. Secara singkat Morgenthau menyebut manusia sebagai ‘animus dominandi’, manusia haus kekuasaan.

Ketiga, pemandu bagi politik kekuasaan adalah kepentingan nasional dan kepentingan nasional tersebut terbebas dari pertimbangan moralitas. Kalaupun ada pertimbangan moral itu tidak lebih pada upaya justifikasi atas kepentingan nasional. Negara dipaksa untuk menjadi penolong dirinya (self-help) memberikan prioritas terhadap kepentingan nasionalnya. Kepentingan nasional menjadi penggerak dan wasit yang menentukan dalam perilaku politik. Kepentingan nasional didefinisikan sebagai perlindungan terhadap otonomi politik dan integrasi teritorial untuk menjadikan negara itu aman. Bentuk kepentingan nasional bagi setiap negara dapat mengambil bentuk yang berbeda-beda. Ada negara yang menekankan pada keamanan sumber kekayaan dan wilayah, mungkin pula ada negara yang berharap untuk memperluas sistem ekonomi atau politiknya ke area yang lain, atau tidak jarang membiarkan negaranya sendirian.

Keempat, akibat dari politik kekuasaan dan kepentingan nasional wajah politik internasional lebih menunjukkan dinamika konflik dan peperangan daripada pembangunan konsensus dan damai.

dikutip dari : http://kahmibulaksumur.net/index.php/2007/11/02/pokok-pokok-realisme-dalam-politik-internasional#comment-66

Tidak ada komentar: